Bali, 15 Juni – Akhir pekan kemarin, pemuda-pemudi dari bagian utara Bali, tepatnya Kawasan Bali Aga yang ada di Kabupaten Buleleng, meninggalkan desa mereka untuk menuju sedikit ke arah selatan. Mereka adalah sebagian kecil dari orang-orang yang mendapat kesempatan dari program Dana Inovasi Responsif (RIF) untuk menjadi penggerak ekonomi desa.
Perjalanan yang menempuh sekitar 60 km atau kurang lebih 2 jam ini tak hanya sekedar kunjungan biasa. Sabtu lalu adalah hari yang sangat berkesan bagi para pengrajin bambu Bali Aga karena mereka dapat memamerkan hasil kerajinan bambu mereka dalam sebuah pameran satu hari di Desa Sayan, Kecamatan Ubud.
Kawasan Bali Aga yang mendapat bantuan dari program RIF terdiri dari Desa Sidetapa, Cempaga, Tigawasa, Pedawa, dan Banyusri. Banyak yang belum tahu bahwa Bali Aga yang ada di Kabupaten Buleleng dikenal sebagai orang Bali asli. Dengan profil sejarah yang kuat, masyarakat Bali Aga khususnya di Desa Tigawasa dan Desa Sidetapa menjadikan anyaman bambu sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan.
“Saya menganyam bambu itu sudah sejak kecil diajarkan oleh orang tua. Tak hanya laki-laki, para perempuan di Desa Tigawasa juga diharuskan untuk bisa menganyam bambu sebelum mereka menikah karena keterampilan tersebut kelak dapat membantu suaminya untuk mencari penghasilan. Biasanya perempuan yang bikin anyamannya dan laki-laki yang membuat pola dan penghalusannya”.
Begitu cerita singkat yang disampaikan oleh Pak Indra sebagai salah satu penganyam bambu dari Desa Tigawasa. Pak Indra dan para penganyam bambu lainnya dari Desa Tigawasa dan Desa Sidetapa telah mendapatkan pelatihan peningkatan keterampilan menganyam dari program RIF tahap ketiga. Menurutnya, produk anyaman bambu yang ia hasilkan setelah pelatihan sangat jauh berbeda dari yang ia buat sebelumnya.
“Sebelum dapat pelatihan dari RIF, saya hanya menggunakan 1 ukuran amplas untuk memperhalus anyaman bambu saya. Namun saat pelatihan, saya justru diajarkan untuk menggunakan beberapa ukuran amplas yang berbeda. Setelah saya coba, hasil akhirnya jauh lebih halus dan rapih,” jelasnya.
Produk anyaman bambu Pak Indra memiliki daya tarik yang tinggi bagi para pengunjung lokal maupun mancanegara. Ia menyediakan beberapa model dan ukuran yang berbeda-beda dengan memperhatikan fungsionalitas produk, seperti misalnya tas keranjang yang dapat ditambahkan tulisan sesuai permintaan pembeli.
Berbeda dengan Desa Tigawasa, anyaman bambu dari Desa Sidetapa memiliki keunikan tersendiri. Anyaman bambu Desa Tigawasa biasanya memiliki rongga anyaman yang lebih lebar dengan motif yang berbeda.
Anyaman bambu Bali Aga selama ini berhasil terjual hanya di Kabupaten Buleleng dan sekitarnya dengan cara pemasaran offline yang daya jangkaunya terbatas. Adanya pandemi COVID-19 juga berdampak pada penjualan sehingga pendapatan mereka pun menurun drastis. Anyaman bambu Bali Aga dinilai perlu untuk membuat model baru yang dapat bersaing di pasar yang lebih luas. Program RIF yang didanai oleh Pemerintah Kanada melalui proyek NSLIC/NSELRED membantu BumdesMa Bali Aga dalam meningkatkan kualitas anyaman maupun desainnya, memperkuat kelembagaan di kawasan perdesaan dan mengajarkan teknik pemasaran digital. Saat ini Bali Aga sudah memiliki akun Instagram dan Tokopedia dengan nama Bambu Bali Aga. Walaupun Instagram dan Tokopedia masih dikelola oleh program RIF, namun Pak Ketut Kusuma selaku Ketua BumdesMa sudah menyiapkan unit pemasaran digital untuk mengelola akun-akun tersebut selepas program RIF berakhir tahun ini.
Ini adalah kali pertama mereka menjual produk di luar Kabupaten Buleleng melalui pameran. Mereka sangat senang karena dapat langsung berinteraksi dengan para pengunjung lokal dan mancanegara. Produk yang terjual pun cukup beragam dan ada beberapa pembeli yang melakukan pemesanan untuk dikirim setelahnya karena keterbatasan stok saat pameran. Pameran ini semakin seru dengan adanya permainan tradisional untuk anak-anak dan pelatihan menganyam bagi dewasa.
Selain anyaman bambu, teman-teman dari Bali Aga juga menjual beberapa produk lain yang merupakan hasil intervensi RIF seperti gula aren dari Desa Pedawa. Terlihat pula beberapa foto artistik yang dipajang di area pameran. Foto-foto tersebut juga merupakan hasil dari pelatihan program RIF sehingga mereka dapat menunjukkan identitas mereka ke publik.
Acara ini berlangsung hingga malam hari. Sebelum acara ditutup, dua perempuan penari dari Bali Aga menunjukkan keindahan tariannya. Setelah itu acara ditutup dengan menceritakan kisah sejarah Bali Aga yang sangat menggugah perhatian pengunjung.
###
No Comment
You can post first response comment.